Beranda | Artikel
Shalat Witir
Selasa, 27 Mei 2008

SHALAT WITIR

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupi kekurangan shalat fardhu dengan shalat-shalat sunnah dan memerintahkan untuk menjaga dan melaksnakannya secara berkesinambungan. Di antara shalat sunnah yang diperintahkan untuk dilakukan secara kontinyu, yaitu shalat Witir.

Dijelaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلَاةً فَحَافِظُوا عَلَيْهَا وَهِيَ الْوَتْرُ أخرجه أحمد

Sesungguhnya Allah telah menambah untuk kalian satu shalat, maka jagalah shalat tersebut. Shalat itu ialah Witir. [HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalîl, 2/159].

Karenanya, kita perlu mengetahui hukum-hukum seputar shalat Witir ini, agar dapat mengamalkannya sesuai ajaran dan tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam .

PENGERTIAN SHALAT WITIR
Yang dimaksud dengan shalat Witir, ialah shalat yang dikerjakan antara setelah shalat Isyâ` hingga terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam.[1]

HUKUM SHALAT WITIR
Shalat Witir merupakan shalat sunnah muakkadah[2] menurut mayoritas ulama. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya sebagai berikut.

1. Hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ قَالَ اجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْراً. متفق عليه

Dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , beliau berkata: “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan Witir”. [Muttafaqun ‘alaihi)]

Dalam hadits ini menunjukkan adanya perintah menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam. Ibnu Daqîqi al-‘Iid menyatakan, orang yang mewajibkan shalat witir berdalil dengan bentuk perintah (dalam hadits ini). Seandainya berpendapat kewajiban witir dalam akhir shalat malam, maka itu lebih tepat”[3].

2. Hadits Abu Ayyûb al-Anshâri yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam bersabda: “Shalat Witir wajib bagi setiap muslim. Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima rakaat, maka kerjakanlah; yang ingin berwitir tiga rakaat, maka kerjkanlah; dan yang ingin berwitir satu rakaat, maka kerjakanlah!” [HR Abu Dawud, an-Nasâ`i dan Ibnu Mâjah, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâwud, no. 1421].

3. Hadits Abu Bushrah al-Ghifaari yang berbunyi:

قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :” إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلَاةً فَحَافِظُوا عَلَيْهَا ، وَهِيَ الْوَتْرُ ؛ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلىَ صَلاَةِ الْفَجْرِ”. أخرجه أحمد.

Sesungguhnya Allah telah menambah untuk kalian satu shalat, maka jagalah shalat tersebut. Shalat itu adalah Witir. Maka shalatlah di antara shalat Isya` sampai shalat fajar. [HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Ahadits ash-Shahîhah, no. 108 (1/221)]

Namun ada juga dalil lain yang memalingkannya dari perintah-perintah dalam dua hadits di atas, yaitu sebagaimana hadits Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

الْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Shalat Witir tidak wajib seperti bentuk shalat wajib, namun ia adalah sunnah yang disunnahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam . [HR an-Nasâ`i. Dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i, 1/368 dan Shahih al-Jâmi’, no. 7860].

Demikian juga keumuman hadits Thalhah bin Ubaidillâh yang berbunyi:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ

Seorang dari penduduk Najd mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam dalam keadan rambut kusut, terdengar gema suaranya yang tidak jelas dan tidak dimengerti apa yang dikatakannya hingga dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam menjawab: “Shalat lima waktu sehari dan semalam,” lalu ia bertanya lagi: “Apakah ada yang lainnya atasku?” Beliau n menjawab,”Tidak, kecuali bila engkau mngerjakan shalat sunnah”.

Kemudian di akhir dialog itu beliau Shallallahu alaihi wa salllam berkata:

أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ

Beruntunglah ia bila benar. [HR al-Bukhâri].

Demikian juga Nabi Shallallahu alaihi wa salllam selalu mengerjakannya dalam keadaan mukim dan bepergian, dan menganjurkan manusia mengerjakannya.[4]

Syaikh al-Albâni, setelah menyampaikan hadits Abu Bushrah di atas, beliau rahimahullah berkata: “Zhâhir perintah dalam sabda beliau Shallallahu alaihi wa salllam : (فَصَلُّوْهَا) menunjukkan kewajiban shalat witir. Dengan dasar ini, madzhab Hanafi berpendapat menyelisihi mayoritas ulama. Seandainya tidak ada dalam dalil-dalil qath’i, pembatasan shalat-shalat wajib dalam sehari semalam hanya lima shalat; tentulah pendapat madzhab Hanafi lebih dekat kepada kebenaran. Oleh karena itu, harus dikatakan, bahwa perintah disini tidak menunjukkan wajib, bahkan untuk menegaskan kesunnahannya. Berapa banyak perintah-perintah (syari’at) yang mulia dipalingkan dari kewajiban dengan dalil-dalil yang lebih rendah dari dalil-dalil qath’i ini. Sehingga mayoritas ulama sepakat (shalat witir) hukumnya sunnah dan tidak wajib, dan inilah yang benar. Kami nyatakan hal ini dengan mengingatkan dan menasihati untuk memperhatikan shalat witir dan tidak meremehkannya”.[5]

Syaikhul-Islâm Ibnu Taimiyyah menyatakan di dalam Majmu’ Fatâwâ (23/88): “Witir adalah sunnah muakkadah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dan yang terus-menerus meninggalkannya, maka ia tertolak persaksiannya”. Wallahu a’lam.

WAKTU SHALAT WITIR
Para ulama sepakat, bahwa awal waktu shalat Witir adalah setelah shalat Isyâ` hingga terbit fajar Subuh.

Imâm Muhammad bin Nashr al-Marwazi (wafat tahun 294 H) mengatakan: “Yang telah disepakati para ulama, bahwasanya waktu shalat Witir ialah antara (setelah) Shalat Isyâ` sampai terbitnya fajar Subuh. Mereka berselisih pada waktu setelah itu hingga shalat Subuh. Hal ini didasarkan pada banyak hadits, di antaranya sebagai berikut.

1. Hadits ‘Aisyah Rsdhiyallahu anhuma , beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ أخرجه مسلم.

Dahulu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam shalat antara setelah selesai shalat Isya`, yaitu yang disebut oleh orang-orang dengan – al-‘atamah – sampai fajar sebelas rakaat dengan salam setiap dua raka’at dan berwitir satu raka’at. [HR Muslim].

2. Hadits Abu Bushrah al-Ghifâri terdahulu yang berbunyi :

فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلىَ صَلاَةِ الْفَجْرِ”. أخرجه أحمد.

Maka shalatlah di antara shalat Isyâ` sampai shalat fajar. [HR Ahmad dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Ahâdits ash-Shahîhah, no. 108 (1/221)].

Adapun akhir waktu shalat Witir jelas ditegaskan juga oleh hadits yang lainnya, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam :

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ ؛ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى .

Shalat malam dua raka’at dua raka’at; apabila salah seorang di antara kalian khawatir Subuh, maka ia shalat satu raka’at sebagai witir bagi shalat yang telah dilaksanakannya. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

WAKTU YANG DIUTAMAKAN
Pelaksanaan shalat Witir, yang utama dilakukan di akhir shalat malamnya,[7] dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam :

اجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْراً. متفق عليه

Dari Nabi Shallallahu alaihi wa salllam , beliau berkata: “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan Witir. [Muttafaqun ‘alaihi].

Sedangkan waktunya tergantung kepada keadaan pelakunya. Yang utama, bagi seseorang yang khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka ia mengerjakannya sebelum tidur. Adapun seseorang yang yakin dapat bangun pada akhir malam, maka yang utama dilakukan di akhir malam.

Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam dalam sabdanya:

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ ؛ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ؛ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ ؛ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ. أخرجه مسلم.

Barang siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka witrirlah di awalnya. Dan yang yakin akan bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam; karena shalat di akhir malam disaksikan dan itu lebih utama. [HR Muslim].

JUMLAH RAKAATNYA
Jumlah raka’at dalam shalat Witir boleh dilakukan dengan satu raka’at, tiga raka’at, lima raka’at, tujuh raka’at, sembilan raka’at dan sebelas raka’at; dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam :

الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

Shalat Witir wajib bagi setiap muslim. Barang siapa yang ingin berwitir dengan lima raka’at, maka kerjakanlah. Yang ingin berwitir tiga raka’at, maka kerjkanlah; dan yang ingin berwitir satu raka’at, maka kerjakanlah! [HR Abu Dâwud, an-Nasâ`i dan Ibnu Mâjah, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâwud, no. 1421].

Sedangkan perincian dan tata caranya ialah sebagai berikut.

1. Shalat Witir satu raka’at.
Hal ini didasarkan pada hadits Abu Ayyûb di atas yang berbunyi:

وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

Dan yang ingin berwitir satu raka’at, maka kerjakanlah! [HR Abu Dâwud, an-Nasâ`i dan Ibnu Mâjah].

2. Shalat Witir tiga raka’at.
Shalat Witir tiga raka’at boleh dilakukan dengan dua cara.
a. Shalat tiga raka’at, dilaksanakan dengan dua raka’at salam, kemudian ditambah satu rakaat salam. Ini didasarkan hadits Ibnu ‘Umar, beliau radhiyallahu anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْصِلُ بَيْنَ الْوَتْرِ وَالشَّفْعِ بِتَسْلِيمَةٍ وَيُسْمِعُنَاهَا

Dahulu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam memisah antara yang ganjil dan genap dengan salam, dan beliau perdengarkan kepada kami. [HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwâ` al-Ghalîl, no. 327].

Juga didasrkan pada perbuatan Ibnu ‘Umar.sendiri.

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ فِي الْوِتْرِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ

Dahulu, ‘Abdullah bin ‘Umar mengucapkan salam antara satu raka’at dan dua raka’at dalam witir, hingga memerintahkan orang mangambilkan kebutuhannya. [HR al-Bukhâri].

b. Shalat tiga raka’at secara bersambung dan tidak duduk tahiyyat, kecuali di akhir raka’at saja.
Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :” لاَ تُوْتِرُوْا بِثَلاَثٍ تُشَبِّهُوْا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ، وَلَكِنْ أَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ ، أَوْ بِسَبْعٍِ ، أَوْ بِتِسْعٍ ، أَوْ بِإِحْدَى عَشَرَةَ”. أخرجه الحاكم.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam bersabda: “Janganlah berwitir dengan tiga rakaat menyerupai shalat Maghrib, namun berwitirlah dengan lima raka’at, tujuh, sembilan atau sebelas raka’at”. [HR al-Hâkim dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam kitab Shalat Tarawih, hlm. 85].

Demikian ini juga diamalkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam , sebagaimana dikisahkan oleh Ubai bin Ka’ab, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْرَأُ مِنَ الْوِتْرِ بِـ {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} ، وَفِيْ الرَّكَعَةِ الثَّانِيَةِ بِـ{قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ} ، وَفِيْ الثَّالِثَةِ بِـ {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد}، وَلاَ يُسَلِّمُ إِلَّا فِيْ آخِرِهِنَّ”. أخرجه النسائي.

Dahulu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam membaca dari shalat witirnya surat al-A’lâ dan pada raka’at kedua membaca surat al-Kâfirûn, dan rakaat ketiga membaca Qul Huwallahu Ahad. Beliau tidak salam, kecuali di akhirnya. [HR an-Nasâ`i, dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahih Sunan an-Nasâ’i, 1/372].

3. Shalat Witir lima raka’at.
Shalat Witir lima raka’at dapat dilakukan dengan dua cara.
a. Shalat dua raka’at, dua raka’at dan kemudian satu raka’at.
b. Shalat lima raka’at bersambung dan tidak duduk tasyahud kecuali di akhirnya. Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah yang berbunyi:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَة ؛ يُوْتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ ، لاَ يَجْلِسُ إِلاَّ فِيْ آخِرِهَا. أخرجه مسلم.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam pernah shalat malam tiga belas raka’at; berwitir darinya lima raka’at. Beliau tidak duduk kecuali di akhirnya. [HR Muslim]

4. Shalat Witir tujuh raka’at.
Shalat Witir tujuh raka’at dapat dilakukan dengan dua cara.
a. Shalat enam raka’at, dilakukan setiap dua raka’at salam kemudian satu raka’at.
b. Shalat tujuh raka’at bersambung, dan tidak duduk kecuali pada raka’at keenam, lalu bertasyahud, kemudian bangkit tanpa salam, dan langsung ke raka’at ketujuh baru kemudian salam. Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah yang berbunyi:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوْتَرَ بِتِسْعِ رَكَعَاتٍ ؛ لَمْ يَقْعُدْ إِلاَّ فِيْ الثَّامِنَةِ ، فَيَحْمَدُ اللهَ ، وَيَذْكُرُهُ ، وَيَدْعُوْ ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَلَا يُسَلِّم ، ثُمَّ يُصَلِّي التَّاسٍِعَةَ ، فَيَجْلِسُ ، فَيَذْكُرُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ، وَيَدْعُوْ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمَةً يُسْمِعُنَا ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ ، فَلَمَّا كَبُرَ وَضَعُفَ ؛ أَوْتَرَ بِسَبْعِ رَكَعَاتٍ ، لَا يَقْعُدُ إِلاَّ فِيْ السَّادِسَةِ ثُمَّ يَنْهَضُ وِلاَ يُسَلِّمُ ، فَيُصَلِّي السَّابِعَةَ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمَةً ، ثَُّ يُصَلِّيْ رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ. أخرجه مسلم والنسائي.

Apabila Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam berwitir sembilan raka’at, beliau tidak duduk kecuali di raka’at kedelapan, lalu memuji Allah, mengingat dan berdoa, kemudian bangkit tanpa salam; kemudian shalat raka’at kesembilan, lalu duduk dan berdzikir kepada Allah dan berdoa; kemudian salam satu kali. Beliau memperdengarkan salamnya kepada kami. Kemudian shalat dua raka’at dalam keadaan duduk. Ketika sudah menua dan lemah, beliau berwitir dengan tujuh raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at keenam kemudian bangkit tanpa salam, lalu shalat raka’at ketujuh kemudian salam; kemudian shalat dua rakaat dalam keadaan duduk. [HR Muslim dan an-Nasâ`i]

5. Shalat Witir sembilan raka’at.
Demikian juga shalat Witir yang sembilan raka’at, ialah sebagai berikut.
a. Shalat enam, setiap dua raka’at salam kemudian satu raka’at
b. Shalat sembilan raka’at bersambung, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan, lalu bertasyahud, kemudian bangkit tanpa salam dan langsung ke raka’at kesembilan dan bertasyahud lalu salam. Hal ini telah dijelaskan sebagaimana tersebut dalam hadits ‘Aisyah di atas.

BACAAN KETIKA SHALAT WITIR
Dalam melaksanakan shalat Witir, seseorang disyariatkan untuk membaca pada:
– Raka’at pertama membaca syurat al-A’lâ.
– Raka’at kedua membaca surat al-Kâfirûn.
– Raka’at ketiga membaca surat al-Ikhlas.
Dalil tentang hal ini dijelaskan dalam hadits Ubai bin Ka’ab yang berbunyi:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْرَأُ مِنَ الْوِتْرِ بِـ {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} ، وَفِيْ الرَّكَعَةِ الثَّانِيَةِ بِـ{قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ} ، وَفِيْ الثَّالِثَةِ بِـ {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد}، وَلاَ يُسَلِّمُ إِلَّا فِيْ آخِرِهِنَّ”. أخرجه النسائي.

Dahulu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam membaca dari shalat witirnya surat al-A’la, dan pada raka’at kedua membaca surat al-Kaafirun, dan rakaat ketiga membaca Qul Huwallahu Ahad. Beliau tidak salam kecuali di akhirnya. [HR an-Nasâ’i dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahih Sunan an-Nasâ’i, 1/372].

Demikian, pembahasan seputar shalat Witir secara ringkas. Insya Allah, pembahasan shalat Witir ini akan bersambung dengan pembahasan Qunut dalam Witir. Semoga bermanfaat.

Maraji`:
1. Majmu’ Fatâwâ Ibnu Taimiyah,
2. Manhaj as-Sâlikîn wa Taudhîh al-Fiqh fi ad-Dîn, ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Tahqîq: Muhammad bin Abdul-‘Azîz al-Khudhairi, Dar al-Wathan, KSA. Cetakan Pertama, Tahun 1421.
3. Mukhtashar Kitab al-Witri Abu Abdillah Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Diringkas oleh Ahmad bin ‘Ali al-Maqrizi (wafat tahun 845), Tahqiq: Ibrahim Muhammad al-‘Ali dan Muhammad Abdullah Abu Sha’lik, Maktabah al-Manar, Yordania, Cetakan Pertama, Tahun 1413.
4. Shahîh Fikih Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin Sayyid Sâlim, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir, tanpa tahun.
5. Silsilah al-Ahâdits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhihâ wa Fawâidihâ, Syaikh al-Albâni, Maktabah Al Ma’arif, Riyâdh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1417 H.
6. Dan lain-lain.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_______
Footnote
[1]. Shahîh Fikih Sunnah 1/381.
[2]. Manhaj Sâlikîn, hlm. 75.
[3]. Ihkâm al-Ahkâm, 2/82.
[4]. Manhaj as-Sâlikîn, hlm. 75.
[5]. Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah, 1/222.
[6]. Mukhtashar Kitab al-Witri Abu Abdillah Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Diringkas oleh Ahmad bin ‘Ali al-Maqrizi (wafat tahun 845), Tahqiq: Ibrahim Muhammad al-‘Ali dan Muhammad Abdullah Abu Sha’lik, Maktabah al-Manar, Yordania, Cetakan Pertama, Tahun 1413, hlm. 41.
[7]. Manhaj as-Sâlikîn, hlm. 75.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2456-shalat-witir.html